ETIKET HUBUNGAN SUAMI ISTRI  

14 Mei 2008

ETIKET HUBUNGAN SUAMI ISTRI

Sumber : Tiara (Agustus 1999)

PERLUKAH ETIKET DI TEMPAT TIDUR ? BEBERAPA TAHUN LALU, RUU KUHP TENTANG MARITAL RAPE SEMPAT MENGGEGERKAN. AH, JIKA SAJA HAL ITU JADI DIBERLAKUKAN, PARA SUAMI YANG TIDAK TAHU ETIKET ITU BISA DIKENAI PIDANA. TAPI BISAKAH 'HASRAT' DITUNDA DEMI ETIKET?

Triman (nama kita samarkan, red) adalah seorang eksekutif puncak di sebuah kantor yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun istrinya mengeluh, karena perilaku Triman telah membuatnya selalu merasa takut dan berkeringat dingin setiap matahari tidak menampakkan diri lagi. Triman ternyata seorang yang pendiam, tidak banyak bicara dan sangat sulit bergurau.

"Tapi yang ingin saya katakan, dalam hubungan intim, dia membuat saya takut. Kalau dia ingin, dia hanya bilang pada saya, 'Masuk kamar!' Setelah itu pakaian saya dilucuti dan hubungan intim dilakukan. Seringkali saya juga harus melayaninya dua kali dengan hanya diselingi istirahat sebentar. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah karena saya wanita dan dia suami saya," begitu ujar wanita 38 tahun itu.

"Lama-lama setiap ia pulang kantor, saya merasa tidak tenang. Kalau makan malam selesai, hati saya gelisah, takut dan keringat dingin mulai keluar. Karena berarti waktu untuk melayani suami akan segera tiba," katanya lagi.

Perlu juga dicatat, selama empat belas tahun menikah ibu ini juga belum pernah merasakan orgasme dalam hubungan intim. Perilaku Triman harus segera diakhiri. Dan para suami -- seperti Triman-- agaknya mulai perlu memahami etiket dalam hubungan suami istri. Sebab menurut RUU KUHP mengenai marital rape itu, maka mereka yang tidak mengindahkan etiket dalam berhubungan dengan istri akan terkena pasal 14 ayat 11 dengan ancaman hukuman penjara antara 3-12 tahun. Ini bukan main-main.

Harus hasrat bersama.

Perilaku Triman harus segera diakhiri. Dan para suami --seperti Triman-- agaknya mulai perlu memahami etiket dalam hubungan suami istri. Sebab menurut RUU KUHP mengenai marital rape itu, maka mereka yang tidak mengindahkan etiket dalam berhubungan dengan istri akan terkena pasal 14 ayat 11 dengan ancaman hukuman penjara antara 3-12 tahun.

Ini bukan main-main.

Coba simak bunyi ayat-ayat yang bisa menjebloskan seorang suami ke penjara dengan tuduhan melakukan tindak pidana perkosaan.

Pertama, (jika) seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita, bertentangan dengan kehendak wanita tersebut. Artinya, persetubuhan atau hubungan intim tidak bisa dilakukan kalau hanya atas dasar kehendak suami, tidak bisa kalau asal suami ingin dan senang.

Kedua, seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita, tanpa persetujuan wanita tersebut. Ayat ini juga menegaskan bahwa tanpa persetujuan dari istri untuk melakukan hubungan intim, maka sebuah hubungan intim yang dipaksakan oleh suami dapat dikenai ancaman hukuman.

Ketiga, seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuan wanita tersebut, tetapi persetubuhan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai. Sangat jelas, ini merupakan hubungan intim yang mengandung bahaya bagi jiwa si wanita.

Keempat, seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan wanita dengan persetujuan wanita tersebut karena wanita tersebut percaya bahwa ia adalah suaminya yang sah atau ia adalah orang yang seharusnya disetujuinya. Ayat ini dapat diartikan bahwa sebuah hubungan intim harus dilakukan atas dasar kehendak dan keinginan bersama antara suami istri. Dengan demikian hubungan intim yang dijalani oleh istri hanya karena ia harus melayani suami, sementara dia sendiri sesungguhnya tidak berhasrat; bisa dikenai ancaman pasal 14 tersebut.

Tapi terlepas dari akan berlaku atau tidaknya pasal 14 di atas, pengajuan rancangan KUHP menyangkut marital rape ini dapat disebut sebagai refleksi dari keadaan masyarakat. Baik yang menyangkut perilaku tak peduli etiket dan pelecehan terhadap wanita sebagai manusia yang juga punya perasaan, keinginan dan hasrat seksual seperti halnya laki-laki dan merupakan refleksi dari kesadaran masyarakat untuk menghargai wanita.

Suara hati para suami.

Namun, komentar dan pendapat para suami sendiri tentang perlunya etiket dalam hubungan suami istri masih ditanggapi agak minor. Para suami, yang ditanyai, umumnya menjawab: tidak perlu untuk beretiket-etiketan dalam berhubungan dengan istri mereka. "Aduh, capeklah kita kalau sama istri sendiri harus berbasa-basi. Di kantor, di restoran, di mana-mana kita sudah diikat dengan etiket. Masak di rumah sama istri sendiri juga masih harus bersopan santun? Kalau menjadi orang modern berarti sarat dengan sopan santun, lebih baik nggak, deh," kata seorang assistant general manager pada sebuah perusahaan perkayuan.

Penolakan senada juga diucapkan oleh Theo, profesional muda yang bekerja di perusahaan kimia. "Etiket macam apa lagi sih yang diminta? Menurut saya hidup kita ini sudah terlalu banyak diatur. Dan bagi saya, bagi laki-laki khususnya, perasaan paling bebas itu bisa diperoleh kalau kita sedang berdua istri. Jadi, janganlah ditambah-tambahi dengan aneka macam aturan sopan santun yang tidak perlu," kata ayah satu anak ini.

Itulah umumnya dalih para suami yang keberatan jika mereka harus bersopan santun dalam hubungan mereka dengan para istrinya.

Tapi benarkah sopan santun hanya melulu urusan berpakaian agar rapi dan wangi? Beberapa pakar seks, memang berpendapat etiket dalam hubungan suami istri memang ada. Sebab dalam melakukan hubungan intim ada hal-hal yang perlu kita perhatikan dan lakukan, demi kesenangan dan kepuasan pasangan kita.

Kasus Triman di atas memperlihatkan dengan jelas, betapa upaya untuk memperhatikan kebutuhan pasangan sama sekali tidak terlihat dari pihak suami. Komunikasi sama sekali tidak jalan, kecuali sebuah instruksi: 'Masuk kamar!'. Bahkan foreplay atau 'permainan pengantar' yang sangat dibutuhkan oleh wanita, sama sekali tidak dilakukan.

Sangat sulit dibayangkan bagaimana sebuah hubungan intim dapat berlangsung dengan kepuasan di kedua belah pihak, jika tidak didahului cumbuan ringan ataupun pembicaraan intim di antara mereka yang terlibat. Banyak suami melupakan, bahwa wanita perlu proses lubrikasi (pembasahan vagina) agar hubungan intim tidak membuatnya kesakitan. Dan ini bisa dilakukan melalui foreplay. Yang juga sering diabaikan para suami termasuk saat-saat setelah 'permainan' usai. Mereka umumnya langsung beranjak atau memalingkan tubuh dan mendengkur, dan mengabaikan kebutuhanistrinya untuk menurunkan emosi yang baru saja memuncak.

Banyak suami lupa atau bahkan tidak tahu kalau wanita membutuhkan waktu untuk kembali normal seusai intercourse. Akibatnya banyak istri yang merasa hanya diperlukan pada saat tertentu, untuk selanjutnya diabaikan. Atau para istri menuduh para suami, egois.

Utamakan perasaan pasangan.

Dalam berbagai tulisannya, para ahli seks seperti Nancy Friday, Robert Crooks dan Karla Baur dan lain-lain, menyebutkan bahwa etiket dalam hubungan intim sangat penting. Tak lain karena rasa penghargaan dan perhatian satu pasangan terhadap yang lain, yang tercermin dalam perilaku sopan santun itu, sangat mempengaruhi ketentraman dan kepuasan batin pasangan tersebut.

Misalnya, sudah menjadi kewajiban pada setiap pasangan untuk memperhatikan kepuasan pasangannya. Jika kita sampai tidak tahu bahwa pasangan kita ternyata menyimpan kekecewaan, ini berarti kita belum cukup memperhatikan aturan mainnya.

Bukankah dapat ditanyakan dengan cara yang halus tanpa membuat rikuh dan kehilangan kejujuran, apakah dia suka atau tidak suka dalam permainan tadi?

Para pakar juga mengajarkan bagaimana cara bertanya yang baik, dan bagaimana cara menyatakan keinginan tanpa membuat pasangan kita merasa direndahkan, maupun bagaimana cara menolak keinginan berhubungan intim atau menolak teknik berhubungan intim yang tidak kita sukai tanpa membuat pasangan kita tersinggung dan seterusnya.

Misalnya, akan berbeda efeknya jika Anda berkata: "Jangan!" lalu menghindar, dibandingkan dengan kalau Anda perlahan-lahan mengganti posisi tubuh dan menghadirkan teknik lain yang Anda sanggup lakukan tapi tetap dapat memuaskan pasangan Anda, tanpa berkata "Jangan!" Yang pertama akan membuat pasangan Anda merasa salah dan merasa ditolak. Sementara yang kedua akan membuat pasangan Anda mengerti bahwa Anda tidak menyetujui keinginannya tapi dia dapat menerima penolakan tersebut tanpa rasa kecewa dan tetap menikmati permainan.

Kita juga harus mengerti topik-topik pembicaraan yang sebaiknya dihindari ketika kita sedang bercumbu dengan suami atau istri. Antara lain soal anak-anak, soal rumahtangga, mertua, urusan kantor, urusan politik dan sejenisnya. Sebab pembicaraan- pembicaraan serius seperti itu hanya akan membuyarkan konsentrasi Anda dan pasangan Anda untuk berhubungan intim. Maka disarankan sebaiknya Anda hanya berbicara mengenai hal-hal yang intim, romantis dan hangat tentang Anda berdua.

Soal 'gangguan lingkungan'.

Peristiwa yang sering terjadi, membuat kecewa pasangan karena salah satu tidak mengindahkan etiket di tempat tidur, adalah tiba-tiba menghentikan permainan. Biasanya karena harus mengangkat telepon atau membuka pintu yang diketuk dan setelah itu meninggalkan kamar. "Kami sering berhubungan intim di siang hari pada saat akhir pekan. Repotnya telepon seringkali berdering atau anak-anak kadang mengetuk pintu butuh sesuatu. Saya sebetulnya lebih suka sementara diabaikan saja semua gangguan itu, tapi suami tidak mau. Dia selalu menanggapi, karena khawatir kalau ada yang benar-benar penting," kata Rusty, 34 tahun, ibu dua anak.

Yang juga sangat menjengkelkan adalah kalau salah satu mendadak harus meninggalkan kamar, karena misalnya ada tamu, sementara permainan belum selesai. Jelas ini akan melukai perasaan pasangan Anda. "Sebetulnya tamu pun bisa menunggu sampai kita selesai. Soal alasan kan bisa saja dicari," ujar Rusty lagi.

Memang benar apa yang dikatakan Rusty. Sebaiknya Anda memang mempertimbangkan seberapa penting interupsi tersebut, jika dibandingkan dengan mengorbankan kepuasan batin pasangan Anda.

Seorang istri pernah bertanya, etiskah kalau ia meminta suaminya menggunakan kondom dan bertanya tentang siapa yang sebaiknya membawa kondom, suami atau istri, jika mereka kebetulan bepergian ke luar kota? Jawabnya sudah pasti, etis.

Lebih-lebih kalau mereka sedang tidak menginginkan kehamilan. Juga tidak menjadi masalah siapa yang mempersiapkannya, sebab pemakaian kondom adalah menjadi tanggungjawab suami istri.

Tapi pertanyaan itu sendiri mencerminkan bahwa soal etiket menjadi persoalan yang tidak bisa kita abaikan, termasuk ketika berhubungan intim dengan suami atau istri. Dan itu tidak sulit, pasti.

AddThis Social Bookmark Button

Design by Amanda @ Blogger Buster