kenapa tionghoa indonesia hampir selalu jadi kambing hitam?  

5 Mar 2008

Kenapa Tionghoa Indonesia hampir selalu jadi Kambing Hitam

Pilihan menjadi Tionghoa adalah di luar kemampuan semua manusia. Tidak ada satupun insan di dunia ini yang mampu menentukan pilihannya dari siapa seseorang mau dilahirkan. Kalau bisa memilih tentunya semua akan memilih menjadi orang atau suku bangsa tertentu yang tidak pernah mengalami penderitaan oleh karena ras ataupun gender. Manusia yang rasionil pasti tidak akan memilih ras tertentu yang selalu menjadi bulan-bulanan ras lain.

Alias-Alias Yang Menjatuhkan

Boleh dibilang Tionghoa Indonesia hampir selalu menjadi kambing hitam kalau ada kasus besar yang belum tahu kebenarannya menimpa mereka. Contoh yang masih segar adalah "Baligate" dimana yang melibatkan Bank Bali di Indonesia. Kebetulan yang diekspos secara kurang adil adalah dua Tionghoa Indonesia: Rudy Ramli (pakai ‘Y’ bukan ‘I’) dan Djoko Tjandra. Waktu nama Djoko ditulis maka disebutkan juga aliasnya yaitu Tjan Kok Hui. Ini hanya untuk menunjukan lebih jelas lagi bahwa Djoko adalah warga keturunan. Padahal yang terlibat dalam kasus ini bukan hanya mereka berdua, masih banyak elit politik lagi berperan yang sekarang saling tuding menuding. Dan mereka inilah yang berusaha cuci tangan dengan segala cara praktek Orde Baru seperti mengancam mereka berdua untuk dibawa ke pengadilan dan ancaman diadukan ke polisi.

Kasus lainnya seperti kedekatan Bob Hasan dengan Soeharto maka disebutkan Bob Hasan alias The Kian Seng berkolusi dengan Soeharto sehingga dengan Nusamba & Kalimanis Groupnya menguasai hutan di Kalimantan. Belum lagi mantan orang terkaya Indonesia (tapi belum tentu benar) Soedono Salim maka akan disebutkan juga kedekatan beliau dengan Cendana dengan nama Tionghoanya Liem Sioe Liong. Menengok ke sekitar tahun antara 1970-an dan 1980-an, maka waktu kasus perumahan Pluit yang melibatkan Endang Wijaya; orang hanya tahu Acai bukan Endang Wijayanya. Kasus yang menghebohkan tentang Bapindo dimana Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong disebutkan merugikan negara 1,3 triliun rupiah. Sekali lagi selalu saja nama Tionghoa disebutkan. Jadi apa perlunya "Ganti Nama" yang disarankan pemerintah supaya lebih cepat terjadinya pembauran Tionghoa di Indonesia yang didukung oleh tokoh-tokoh Bakom-PKB seperti Sindhunata, Junus Jahja dll.

Padahal kasus Bapindo melibatkan banyak pejabat pemerintah saat itu. Belum lagi kasus adiknya Eddy Tansil, Hendra Raharja dengan Bank Harapan Sentosanya. Lagi-lagi aliasnya Tan Tjoe Hing disebutkan kembali. Masih ada lagi kasus Chandra Asri yang melibatkan Prajogo Pangestu alias Phang Djun Phen. Yang tidak jauh ada di Minnesota adalah Sofyan Wanandi sedang berobat mata di Klinik Mayo, disebutkan tidak berani pulang ke Indonesia untuk diusut. Lagi-lagi disebutkan nama Tionghoanya, Lim Bian Koen.

Peranakan Membawa Harum Nama Indonesia

Sedangkan kalau ada Tionghoa Indonesia yang mengharumkan negara, jarang sekali disebutkan aliasnya. Seperti Rudy Hartono yang menjadi juara bulutangkis All England 8 kali, hampir tak pernah orang tahu nama Tionghoanya Nio Hap Liang. Padahal sampai sekarang belum satupun orang di dunia ini yang menyamai prestasinya dalam bulutangkis. Bahkan Rudy Hartonolah yang pertama kali namanya dimasukkan dalam Guinness Book of Record sebagai orang Indonesia. Belum lagi Hendra Kertanegara alias Tan Yoe Hok, generasi pertama yang membawa keharuman nama Indonesia dalam bidang bulutangkis. Susi Susanti sebagai orang pertama Indonesia yang mengondol medali emas dalam Olimpiade belum pernah disebutkan nama Tionghoanya Wang Lian Xiang.

Ada lagi sutradara film yang terkenal yaitu Teguh Karya yang namanya malang melintang diperfilman Indonesia, mungkin banyak yang tidak tahu kalau dia seorang warga Tionghoa dengan nama Lim Tjun Hok. Dalam bidang kedokteran banyak nama yang mengangkat prestasi bidang ini. Salah satu ahli bedah saraf adalah Priguna Sidharta alias Sie Pek Giok yang bukunya menjadi acuan buat mahasiswa kedokteran. Baru-baru ini salah satu dokter yang merawat Soeharto akibat stroke adalah Satyanegara alias Oey Kim Seng. Katanya nama Satyanegara adalah pemberian Soeharto agar dia tetap setia pada negara. Bidang pendidikanpun lumayan banyak warga Tionghoa yang berkeliaran dalam arti tinggi kualitasnya. Ingat saja nama ahli Fisika Yohanes Surya yang membawa siswa-siswa SMA Indonesia dekade ini untuk bertarung di tingkat Internasional dalam bidang Fisika, Matematika dan Komputer.

Beberapa kali mendapat tempat yang tertinggi sehingga nama Indonesia bukan dikenal sebagai bangsa yang hanya membunuh bangsanya sendiri seperti pada kasus Timor Timur, Aceh, Irian Barat, Mei 99, Ketapang, Kupang, Semanggi, Ambon. Ada lagi ahli matematika Dali S Naga, iapun warga keturunan dengan nama Yo Goan Li. Ahli gempa Indonesia seperti Teddy Boenpun bisa disebutkan dalam dunia akademis Indonesia. Ada lagi Indonesianis kental seperti Arief Budiman alias Soe Hok Djin. Jangan lupa salah satu pelopor pusat riset data bisnis yang jempolan di Indonesia dikomandai oleh seorang keturunan, Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok dengan PDBInya. Di kelompok peneliti LIPI ada Tionghoanya seperti Lie Tek Tjeng, The Kian Wie, Thung Ju Lan, Melly G Tan. Salah satu pendiri CSIS adalah Panglayakim adalah ekonom tersohor, dimana sekarang anaknya Mari Pangestu mengantikan posisi beliau. Kalau mau dideret warga Tionghoa yang punya andil di jaman Orde Baru inipun sangat banyak.

Kambing Lain Yang Lebih Hitam

Sasaran empuk lainnya buat Tionghoa Indonesia adalah kalau mereka kaya-kaya dan tinggal eksklusif. Kalau dilihat memang banyak yang menjadi kaya oleh karena mereka kerja keras dengan memeras keringat malah kadangkala harus dipaksa memeras keringat oleh oknum-oknum tertentu sampai tetes penghabisan. Jadi jangan dilihat secara skeptis kalau Tionghoa itu kaya-kaya, tapi lihatlah bagaimana perjuangan mereka yang bangun pagi sekali, membangun jaringan pemasaran yang luas, mengutamakan kepuasan langganan, menabung demi masa depan. Kelompok konglomerat yang berKKN dengan penguasa janganlah dijadikan alasan bahwa semua Tionghoa digeneralisasi mempunyai tabiat yang bejat.

Apakah tidak ada kelompok pribumi yang berKKN? Jadi wajar-wajar saja pedagang di Glodok atau Mangga Dua menjadi kaya. Ataupun di daerah-daerah mereka menjadi pedagang di satu jalan tertentu, janganlah dianggap kalau mereka itu dekat dengan penguasa. Belum lagi kalau mereka dibilang tinggal eksklusif seperti di Jakarta daerah Kelapa Gading, Sunter, Pluit, Pantai Mutiara, di Bandung seperti di Holis Indah, Arcamanik, di Semarang seperti di Puri Anjasmoro, Di Surabaya seperti Taman Darmo, Taman Galaxy. Mereka bisa tinggal disana oleh karena mereka memang mempunyai daya beli yang tinggi. Jadi kebetulan sekali kalau mereka berkumpul di satu perumahan tertentu, itu bukan karena mereka sudah janjian untuk tinggal di tempat yang sama. Jangan heran kalau sesama tetangga belum tentu kenal. Apakah ini jadi alasan kalau Tionghoa Indonesia itu eksklusif?

Tionghoa=Tukang Suap

Ini juga seringkali dijadikan alasan kalau Tionghoa itu tahunya mau yang ngampang saja.
Urus KTP, SIM, ataupun surat-surat lainnya pakai uang suap. Sebenarnya hal ini wajar saja, oleh karena kalau dijalankan sendiri maka akan memakan waktu lama. Jadi wajar saja faktor ekonomis menjadi pertimbangan, daripada kehilangan waktu kerja mending bayar lebih. Apakah hanya etnis Tionghoa yang melakukannya? Rasanya tidak.
Kalau dijalankan sendiri maka akan ditertawakan petugas dengan sindiran,"Masa pedagang urus suratnya sendiri, pelit sekali." Jadi ini persoalan yang dilematis sekali.
Budaya suap menyuap tidaklah bisa dikaitkan dengan etnis tertentu

Kapan Kambing Putih Ditemukan

Sudah saatnya jangan mencari kambing hitam lagi di antara Tionghoa Indonesia. Janganlah praktek-praktek politik adu domba dijalankan, ini hanya akan mengingatkan akan taktik Belanda ketika memecah belah Indonesia. Bayangkan negara kecil yang luasnya lebih kecil dari Jawa Barat bisa menjajah kita selama 350 tahun. Marilah sebagai bangsa Indonesia kita bersatu untuk memajukan negara kita. Tapi jangan lupa kejadian dulu yang mendiskreditkan Tionghoa Indonesia haruslah diakui secara terbuka seperti kasus Baperki yang dicap Komunis, Kerusuhan Mei 99 dan banyak kerusuhan rasial lainnya yang terjadi mulai tahun 1910-an. Di Indonesia sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang tuntas tentang kejahatan rasialisme bahkan kadang kala tidak diakui. Hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan. Yang bersalah harus tetap diadili, kalau kemudian diampuni itu cerita lain. Saya rasa Tionghoa Indonesia tidaklah ingin diperlakukan menjadi anak emas melainkan ingin diperlakukan sebagai anak bangsa yang mewarisi juga bumi pertiwi. (IM)

Oleh: Utomo Lukman
http://www.indonesiamedia.com/rubrik/opini/opini99november-kambing.htm

AddThis Social Bookmark Button

Design by Amanda @ Blogger Buster