Bola untuk anakku  

19 Feb 2008

25 tahun yang lalu,Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan
pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami
ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga
puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan
tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari
kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau
hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan
Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk
biaya makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah
punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga
dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru
berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku
merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan
orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak
untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu
saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang
senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke
kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa
terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang
senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan
Kania tak jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar
suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas,
piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah.
Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang
dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di
rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang
lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin
lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya
karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti
yang sering diucapkannya. "Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi
pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola,
makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan
main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak
kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang laluIya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola
di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak
akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya
menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari
sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku
sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan
ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa
khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa". Sebuah truk
pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di
atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya
Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku,
tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar
barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis
sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu,Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan.
Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap
jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak
dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya
sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa
dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania
hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih
besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak
diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu,Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku
sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar
kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP.
Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala
keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku
bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan
dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku
yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat.
Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,Aku sedih, semua tetangga sering mengejek
kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman
sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalo kere ya
kelaut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku
memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga."Sabar
ya, Nak!" hiburku."Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak
diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan
bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak
hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia.
Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum
padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena
sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania,
istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak
kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika
aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku
takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia.
Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.
Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah
tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia
berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal.
Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk
menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga
tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah
seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang
disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga
dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang
keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini
dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja.
Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu
menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa
salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud.
Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan
Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk
manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku.
Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,Inikah badai? Aku mendapat surat dari
kepolisian pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia
diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya.
Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya.
Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia
harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk
menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu
kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku
hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang
bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia
harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa
apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi
apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola
apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
Wahai Allah kuatkan aku.
Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku
ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus
sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari
tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan
itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin
melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa
ditukar, aku ingin menggantikannya.
"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?" "Lelaki tua itu ingin
Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut,
Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak
salah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib
anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri
keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya
dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk
memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-
sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman
pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada
di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat
tangan dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak
anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi
menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan
mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia
menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan
kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat
garis wajah yang kukenal.
"Kania?""Mas Har, kau ... !""Kau ... kau bunuh anakmu sendiri,
Kania!""Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah
anakku."Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah
besar.""Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah
anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang
petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang
tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan.
Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila
sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku
tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya
dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku,
Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia
sering berteriak, "Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu
Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku.

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar: to “ Bola untuk anakku

Design by Amanda @ Blogger Buster