warga tionghoa tak ingin diskriminasi  

5 Mar 2008

Warga Tionghoa Tak Ingin Didiskriminasi

"Siapa pun orangnya, yang terpenting bagi kami adalah jangan sampai gubernur baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang diskriminatif. Bahkan, kalau bisa menghapus segala bentuk diskriminasi yang sampai hari ini masih dirasakan sebagian warga keturunan Tionghoa,"
kata Benny G Setyono, Ketua Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa atau Perhimpunan Inti Jakarta.

Meski kini sudah ada Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan 2006, yang menghapus pembedaan antara warga Indonesia asli dan WNI keturunan, perlakuan diskriminatif masih dirasakan banyak warga keturunan Tionghoa, termasuk yang tinggal di Jakarta. Dalam berbagai urusan, mereka masih diminta menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), yang tak semua memilikinya.

Dengan diberlakukannya UU Kewarganegaraan, SBKRI sebetulnya tak diperlukan lagi. Kewarganegaraan seseorang cukup dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP) atau akta kelahiran. Namun, diskriminasi masih terjadi karena pencatatan sipil Indonesia masih didasarkan pada UU warisan zaman kolonial, yang membeda-bedakan status penduduk berdasarkan etnis.

Terhadap golongan Tionghoa masih diberlakukan Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917, yang justru tidak dinyatakan dicabut dalam UU Kewarganegaraan 2006. Banyak warga Tionghoa tak memiliki akta kelahiran karena orangtua mereka tidak pernah mencatatkan perkawinan akibat kemiskinan dan rendahnya pendidikan.

"Karena itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang hingga kini tidak memiliki KTP karena untuk membuatnya, mereka harus menunjukkan akta kelahiran yang tak mereka miliki," kata Benny seraya menunjuk kaum keturunan Tionghoa miskin yang juga banyak di Jakarta.
"Kami berharap, gubernur mendatang dapat menuntaskan masalah ini. Karena, dengan tak memiliki KTP, mereka kan jadi kehilangan hak-haknya sebagai warga kota," tambahnya.

Tak lagi pasif

Benny meramalkan, dalam pilkada mendatang, warga Tionghoa akan berpartisipasi aktif dengan ikut memberikan suara. Mereka tidak lagi bersikap pasif dalam politik seperti pada masa Orde Baru. "Dari seluruh warga Jakarta keturunan Tionghoa yang memiliki hak pilih, saya kira setidaknya 75 persen akan ikut memilih. Asalkan saja mereka terdaftar dan bisa ikut memberikan suara," kata Benny, yang mengaku warga Tionghoa peranakan.

Menurut Benny, warga Tionghoa sekarang semakin sadar dan tak ragu lagi menyatakan aspirasi dan pilihan politiknya. Perubahan sikap sudah mulai terlihat sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, saat hampir seluruh warga Tionghoa memilih Megawati Soekarnoputri (PDI-P). "Dalam Pemilu 2004, karena kecewa pada kepemimpinan Megawati, mereka banyak yang memilih jadi golput (golongan putih) alias tak memilih," papar Benny.

Adanya kepedulian pada pilkada DKI terlihat dari banyaknya warga Tionghoa yang hadir sebagai peserta seminar bertajuk "Pilkada DKI Jakarta dan Partisipasi Masyarakat" yang digelar Perhimpunan Inti, awal Mei lalu. Menurut Benny, dari 300 kursi yang tersedia, lebih dari 250 terisi oleh para peserta.

Tionghoa Muslim

Tokoh Tionghoa Muslim, HM Ali Karim Oei, menyatakan amat merindukan gubernur Jakarta yang memahami rakyat, bukan yang mengikuti saja apa kehendak rakyat. Memahami rakyat dan menuruti kehendak rakyat itu merupakan dua hal yang berbeda.
"Suara rakyat kan bisa dibeli oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan sendiri. Karena itu, diperlukan seorang gubernur yang tak mau begitu saja mengikuti tuntutan rakyat," kata Ali, pimpinan Yayasan Haji Karim Oei, yang aktif menyebarluaskan informasi tentang Islam di antara kaum keturunan Tionghoa.

Ali (51) juga berharap, gubernur Jakarta mendatang adalah seorang pemimpin yang cepat tanggap pada berbagai situasi kritis yang dihadapi warga. Ia, misalnya, mengkritik kegiatan pengasapan yang selalu baru dilakukan justru setelah merebaknya kembali penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Gubernur Jakarta yang baru nanti juga harus mampu mendorong para lurahnya agar lebih merakyat. Banyak pemimpin yang awalnya orang biasa yang bersahaja, tetapi bersikap feodal begitu menjadi pejabat. "Banyak pejabat yang mapnya saja harus dibawakan," katanya.

Etnis Betawi berbagi

Dengan jumlah mencapai 2,5-3 juta jiwa atau sepertiga jumlah total penduduk ibu kota, etnis Betawi sebagai penduduk asli Jakarta berperan penting dalam menentukan sukses atau tidaknya pilkada DKI.

"Sejak ratusan tahun lampau, orang Betawi terbiasa hidup, berbagi tanah, dan kekayaan alamnya bersama etnis lain. Bersama etnis lain, Betawi eksis dan berkembang seiring kemajuan kota Jakarta. Jangan sampai fakta sejarah tersebut dikaburkan dengan isu-isu perpecahan," kata Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Masyarakat Betawi Dr Sibro Malisi, Jumat (20/7).
Antropolog dari Universitas Indonesia, Prof Dr Yasmine Zaki Shahab, menambahkan, setiap suku bangsa di mana pun memiliki budaya, kebiasaan, tindak-tanduk, dan kesenangan yang positif maupun negatif.

Budaya atau kebiasaan negatif ini lalu menjadi stereotip. Stereotip orang Betawi adalah tak berpendidikan, malas, dan polos atau tak berwawasan untuk maju. Sementara budaya orang Betawi yang religius, senang bergotong royong, dan berbagi pada sesama tak banyak diingat.
Menurut guru besar keturunan Betawi-Arab ini, jumlah suku Betawi hampir mencapai sembilan juta orang dan menempati urutan kedelapan dari suku bangsa terbanyak di Indonesia. Namun, jumlah itu tak tampak dalam masyarakat.

Di sisi lain, berdasarkan data Bamus Betawi dan pantauan Kompas, saat ini sudah ada lebih dari 70 organisasi masyarakat Betawi, tetapi organisasi-organisasi tersebut tidak bisa kompak. Tidak dimungkiri, mereka bersaing satu sama lain dan sering disalahgunakan sebagai kekuatan preman yang menguasai kawasan-kawasan tertentu.
Eksistensi Betawi

"Terjadi pengaburan esensi. Betawi saat ini hanya sebagai ikon yang justru meriah di gembar-gembor, tetapi miskin pemahaman. Memajukan Betawi bukan berarti sebagai simbol kekuatan dan kepemilikan mutlak atas suatu kawasan, tetapi melestarikan budaya, khususnya budaya positif, yaitu egaliter, santun, dan berjuang sama tinggi dengan etnis lain memajukan Jakarta, memajukan Indonesia," kata Sibro Malisi.

Menyikapi kondisi etnis Betawi saat ini, Sibro menegaskan, pemerintah perlu mengubah kebijakan pembangunan dan memberi peluang lebih kepada masyarakat Betawi. Ironisnya, di tingkat DPRD DKI Jakarta saja, perwakilan masyarakat Betawi belum representatif. Dari 75 anggota DPRD, hanya 14 orang saja yang asli Betawi.
Pemiskinan budaya Betawi juga masih berlangsung. Ketika semua orang melihat ondel-ondel dan makan kerak telor seakan-akan Betawi sudah begitu diunggulkan sebagai lambang Jakarta.
Siapa pun gubernur terpilih, Sibro menitipkan pesan agar eksistensi masyarakat Betawi diperhatikan.

Kompas, Mulyawan Karim dan Neli Triana

AddThis Social Bookmark Button

Design by Amanda @ Blogger Buster